Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Kota Sorong, Papua Barat Daya bersama lintas sektoral melaksanakan evaluasi capaian program penanganan stunting sebagai bagian penting untuk mempercepat penurunan stunting di wilayah itu.
Ketua TP-PKK Kota Sorong Jemima Elisabeth Lobat di Sorong, Kamis, menjelaskan kasus stunting merupakan persoalan bersama, sehingga penting adanya kolaborasi lintas sektoral melalui intervensi konkret untuk percepatan pengendalian stunting di Kota Sorong.
“Stunting bukan hanya urusan Dinas Kesehatan atau BKKBN, tapi harus menjadi perhatian semua sektor. Kita harus bersatu agar generasi masa depan Kota Sorong bebas dari ancaman kekurangan gizi kronis,” kata Jemima.
Berdasarkan data elektronik E-PPGBM Triwulan I Tahun 2025, dari 10.802 balita yang menjadi sasaran pengukuran di Kota Sorong, sebanyak 4.671 anak telah ditimbang dan diukur. Hasilnya, tercatat 388 kasus stunting, dengan prevalensi mencapai 8,31 persen.
Angka ini menunjukkan penurunan signifikan jika dibandingkan dengan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2025, yang mencatat prevalensi stunting di tingkat provinsi Papua Barat Daya masih sebesar 31,0 persen.
“Data ini menggembirakan, tetapi kita tidak boleh lengah. Sebaran kasus di beberapa distrik masih cukup tinggi, terutama di Sorong Barat dan Sorong Kepulauan,” ujar Jemima.
Distribusi kasus stunting di Kota Sorong menunjukkan variasi yang cukup mencolok antar-wilayah. Sorong Barat mencatat prevalensi tertinggi, yakni 15,05 persen (42 dari 279 balita), Sorong Kepulauan 13,80 persen (41 dari 297 balita), Sorong Timur memiliki angka terendah sebanyak 2,29 persen (14 dari 611 balita). Kemudian, Distrik Sorong menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak 82 balita stunting
"Sementara distrik lain, seperti Malaimsimsa, Sorong Manoi dan Sorong Kota juga masih mencatat angka di atas 8 persen," bebernya.
Menurut dia, strategi percepatan penurunan stunting di Kota Sorong mengandalkan dua pendekatan utama, yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik melibatkan pelayanan kesehatan langsung, seperti pemberian suplemen gizi, penimbangan rutin di posyandu, dan perawatan di fasilitas kesehatan. Sementara intervensi sensitif mencakup edukasi masyarakat, perbaikan sanitasi, serta pemenuhan kebutuhan gizi bagi remaja putri.
“Pencegahan harus dimulai sejak usia remaja. Remaja perempuan yang sehat secara gizi akan melahirkan anak yang sehat juga,” kata Jemima.
Dia menambahkan rapat koordinasi ini juga menjadi ajang konsolidasi antar-instansi, mulai dari dinas kesehatan, pendidikan, sosial, hingga perangkat kampung dan tokoh masyarakat.
"Saya berharap dengan adanya pendekatan terintegrasi ini bisa berdampak terhadap menurunkan angka stunting secara merata di seluruh distrik," ujarnya.
Editor : Evarianus Supar
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Tengah 2025