Anggota Komisi II DPR RI Arif Wibowo menyatakan pemilu demokratis tidak hanya ditentukan oleh keberhasilan tahapan teknis/administratif, tetapi juga oleh bagaimana penyelenggara mampu memanfaatkan masa non tahapan untuk menciptakan kesadaran dan literasi politik masyarakat.

Hal itu ia sampaikan saat menjadi pembicara dalam kegiatan Penguatan Kelembagaan sebagai Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 di Bawaslu Papua Barat di Manokwari, Senin.

“Penyelenggara pemilu tidak boleh hanya bekerja secara administratif ketika tahapan berlangsung. Pada masa non tahapan justru harus lebih proaktif mengedukasi masyarakat, membangun relasi, dan memperkuat kelembagaan agar pemilu berikutnya lebih demokratis,” ujarnya.

Ia mengatakan, pemilu adalah proses panjang yang berlangsung secara berkesinambungan, bukan sekadar peristiwa lima tahunan.

Karena itu, masa non tahapan pemilu seharusnya dipandang sebagai ruang penting untuk melakukan edukasi, konsolidasi, serta cipta kondisi agar masyarakat semakin memahami nilai demokrasi.

“Penyelenggara pemilu bukan sekadar karyawan pemilu, tetapi pejuang demokrasi. Ada sikap moral yang harus ditunjukkan, yakni sukarela dan proaktif dalam membangun kesadaran masyarakat,” tambahnya.

Ia menilai, masa non tahapan harus diisi dengan kegiatan sosialisasi dan literasi kepemiluan secara masif.

Dalam kesempatan itu, ia juga mendorong Bawaslu Papua Barat hingga tingkat kabupaten/kota untuk menggelar diskusi publik, membangun komunikasi dengan berbagai kalangan, serta mengorganisir komponen masyarakat dalam mengawal pemilu.

Misal, dalam pencegahan politik uang. Menurutnya, politik uang tidak hanya terjadi karena ada pihak yang memiliki kemampuan tapi juga karena masyarakat menerima dan menganggap wajar. Hal itu bukti bahwa edukasi belum maksimal.

“Kalau masyarakat diberi ruang dialog dan terus diajak bicara soal demokrasi, maka akan muncul kesadaran kolektif bahwa pemilu bukan hanya memilih dan dipilih, tetapi juga soal menjaga integritas, melawan manipulasi, dan menolak praktik curang,” ujarnya.

Ia menambahkan, untuk mengawal demokrasi seperti pemilu membutuhkan waktu yang panjang, berlangsung terus menerus tanpa henti.

Kinerja penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu tidak bisa dinilai dalam periodisasi tahapan, sehingga penyelenggara pemilu tidak bisa bersifat adhoc, harus bersifat permanen.

“Keberadaan penyelenggara pemilu hingga tingkat kabupaten/kota harus dipertahankan selama lima tahun sesuai masa jabatan mereka karena alasan konstitusional,” ujarnya.

Penyelenggara pemilu juga harus diberi penguatan kelembagaan guna memastikan kewenangan yang sudah ada benar-benar dijalankan secara optimal.

Penyelenggara harus memberi teladan melalui kerja berkesinambungan, terutama di masa non tahapan, agar kepercayaan publik terhadap demokrasi semakin kokoh.

“Kalau masa non tahapan bisa dimanfaatkan maksimal, maka persoalan yang selalu muncul setiap pemilu bisa ditekan. Pemilu tidak boleh sekadar jadi rutinitas teknis, tetapi momentum memperkuat demokrasi bangsa,” ujarnya.




Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: DPR RI: Pemilu demokratis juga tercipta dari tahapan literasi politik

Pewarta: Ali Nur Ichsan

Editor : Evarianus Supar


COPYRIGHT © ANTARA News Papua Tengah 2025