Jakarta (ANTARA) - Dulu, saat motret masih menggunakan kamera film, saya pernah ditegur Wakil Pemimpin Redaksi ANTARA Parni Hadi, karena salah menulis keterangan singkat dari foto.
Pagi itu saya baru saja tiba di kantor, ketika pesuruh kantor memberitahu untuk segera menemui Wapemred di ruang kerjanya di lantai 20 Wisma ANTARA, Jakarta. Ruang Biro Foto satu lantai dengan ruang kerja Wapemred, sehingga saya segera menemuinya.
Sesampainya di ruang kerja Wapemred, saya langsung dipersilahkan duduk olehnya. Lalu Wapemred memperlihatkan cetakan foto hitam putih karya saya yang ditempeli keterangan (caption) foto di bawahnya, dan berkata,
"Anda tidak tahu Gubernur Bank Indonesia ya? Dari foto ini kan jelas bahwa ini wajah Gubernur Bank Indonesia, bukan Menteri Kehutanan. Kenapa anda tulis Menteri Kehutanan pada caption foto?"
Ia menambahkan, "Kecuali anda tidak tahu Gubernur Bank Indonesia. Kalau pun tidak tahu, mestinya kan bisa tanya orang sekitar."
Wajah Wapemred tegang karena marah, sehingga membuat saya takut, tetapi akhirnya saya memberanikan diri untuk bicara.
"Maaf, Pak. Ini memang kesalahan saya waktu melihat negatif film. Saya lihat menggunakan kaca pembesar, saya kira itu Menhut. Saya tidak menceknya lagi di foto cetakan. Rupanya itu Gubernur Bank Indonesia. Saya sudah terlanjur menuliskan nama Menhut pada caption foto. Sekali lagi saya minta maaf.”
Wapemred ingin meluapkan lagi kemarahannya, tetapi batal. Lalu ia berkata,
"Ya sudah, jangan bikin kesalahan lagi. Hati-hati saat membuat caption foto. Ayo bikin ralat dan segera umumkan ke semua pelanggan."
Itulah pengalaman saya saat ditegur Wapemred ANTARA karena salah membaca negatif film, berakibat salah membuat caption foto. Dari peristiwa itu saya menjadi lebih berhati-hati dalam bekerja. Dan dari peristiwa itu saya ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang bagaimana susahnya memotret menggunakan kamera film.
Kamera film
Memotret menggunakan kamera film itu susah, karena harus melalui beberapa tahapan, yakni memotret, mencuci film dan mencetak foto. Memotret pun belum bisa mendapatkan hasil fotonya, melainkan film harus dicuci terlebih dahulu dan foto dicetak.
Beda dengan memotret menggunakan kamera digital, yang hanya melalui satu tahapan, yakni memotret. Setelah memotret, kita bisa langsung melihat hasil pemotretan melalui monitor pada kamera. Tidak ada tahapan mencuci film dan mencetak foto saat memotret menggunakan kamera digital, sehingga hemat biaya dan waktu. Ditambah lagi memotret menggunakan kamera digital memakai kartu memori (memory card) sehingga aman fotonya disimpan.
Memotret menggunakan kamera film juga susah karena banyak aturan dan kesulitan yang dihadapi. Seperti tahapan pertama, memotret. Saat hendak memotret kita tidak mempunyai film, tetapi kita mempunyai satu rol besar film, seperti yang dijual produsen film Kodak, maka kita bisa menggulung sendiri film dari satu gulungan besar menjadi satu rol film. Kita tinggal mencari selongsong film bekas untuk tempat penyimpanannya. Penggulungan film bisa dilakukan di kamar gelap, atau menggunakan kantung hitam berbentuk seperti baju yang disebut changing bag.
Tahapan berikutnya adalah mencuci film. Pada tahapan ini juga banyak kesulitan dan aturannya, seperti, jika setelah memotret tidak tersedia perlengkapan untuk mencuci film, maka kita bisa membuat sendiri larutannya, seperti developer, larutan pengembang dan fixer, larutan penyetop pengembangan. Kedua larutan, developer dan fixer dapat dibeli di toko-toko kimia dalam bentuk bubuk. Larutkan bubuk developer dan fixer menggunakan air, setelah itu dimasukkan ke dalam botol masing-masing.
Setelah kedua larutan tersedia, maka kita bisa mencuci film. Saat mencuci film pun ada aturannya, yakni kalau pemotretan berlangsung normal, dalam arti tidak kelebihan cahaya, atau kurang cahaya, maka pencucian bisa dilakukan secara normal. Pada suhu kamar, waktu pencucian normal adalah 5 menit.
Maka lakukanlah pencucian film selama 5 menit, tidak ditambah atau dikurangi waktunya, tetapi apabila pemotretan berlangsung tidak normal, misalnya kelebihan cahaya atau kurang cahaya, maka pencucian dilakukan dengan menambahkan atau mengurangi waktu pencucian film.
Selain dua larutan itu, saat mencuci film juga dibutuhkan tangki dan rol untuk tempat proses pencucian film. Caranya, film digulung terlebih dulu pada rol menggunakan changing bag atau dilakukan di kamar gelap. Setelah itu, film yang tergulung dalam rol dimasukkan ke dalam tangki. Lalu mulailah proses pencucian film.
Setelah pencucian film selesai, dan negatif film diperoleh, maka tahap selanjutnya adalah mencetak foto menggunakan mesin pencetak dan kertas foto, serta dilakukan di kamar gelap. Pada proses ini juga ada kesulitan dan aturan yang harus diikuti, seperti kalau negatif film hasil pencucian kelebihan cahaya, yang ditunjukkan dengan emulsi pada seluloid berwarna hitam pekat, maka saat mencetak foto dibutuhkan waktu pencahayaan yang lama. Hal ini supaya citra yang ada pada negatif film, menempel pada kertas foto.
Begitu juga sebaliknya kalau negatif film kurang cahaya, yang ditunjukkan dengan emulsi yang hampir tidak ada pada seluloid, melainkan warna transparan, maka saat pencetakan foto, dibutuhkan waktu yang cepat dan pencahayaan yang sedikit agar citra yang menempel pada kertas foto tidak "gosong".
Seharusnya, emulsi pada seluloid kontras, tidak berwarna hitam pekat atau transparan. Emulsi membentuk citra pada negatif film, saat pemotretan.
Pada kasus Gubernur Bank Indonesia Rachmat Saleh dan Menteri Kehutanan Soedjarwo, citra keduanya mungkin sama pada seluloid, karena sama-sama menggunakan kaca mata dan berbentuk kotak. Keduanya pun mempunyai wajah yang mirip.
Citra pada negatif film hitam putih, hanya berwarna hitam dan abu-abu, sehingga kalau tidak teliti saat melihatnya menggunakan kaca pembesar, akan menyebabkan salah. Beda dengan citra pada negatif film berwarna yang tidak hanya berwarna hitam dan abu-abu, melainkan juga warna lainnya. Bahkan citra pada negatif film berwarna terlihat seperti objek aslinya.
Kesalahan membaca citra pada negatif film hitam putih merupakan salah satu kesulitan saat memotret menggunakan kamera film. Masih banyak kesulitan lain.
“Kamera film menuntut kita bekerja secara efektif, memaksimalkan setiap frame yang ada. Karena keterbatasan jumlah rol film, saat itu, yaitu maksimal 36 shot, bonus 2 jadi 38 shot,” kata pewarta foto Republika Yogi Ardhi yang mengaku menggunakan kamera film sejak kuliah, mulai dari kamera merk Ricoh, Pentax dan Nikon, tetapi semuanya pinjam.
Ia menambahkan, “Dalam konteks jurnalistik, pekerjaan memotret menggunakan kamera film ini menuntut kejelian kita untuk mencari momen yang benar-benar penting, yang peak moment untuk memaksimalkan satu rol yang ada.”
Lain halnya pendapat yang dikemukakan pewarta foto Media Indonesia, Agung Wibowo yang biasa dipanggil Sastro. Ia mengatakan, “Memotret memakai kamera film harus memiliki kemampuan menentukan seberapa besar intensitas cahaya yang ada pada objek foto, agar pengaturan diagframa dan kecepatan tepat. Ingat, menggunakan kamera film tidak bisa langsung dilihat hasil jepretannya, seperti kamera digital. Seandainya hasil tidak maksimal, maka kita terpaksa harus ulang memotret.”
Untuk menggunakan kamera film, kuncinya adalah memperbanyak jam terbang dan sering berlatih di segala kondisi pencahayaan.
*) Audy Mirza Alwi adalah Pewarta Foto ANTARA 1990 - 2020
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Catatan jurnalis foto: Susahnya memotret dengan kamera film