Sorong (ANTARA) - Pemerintah Kota (Pemkot) Sorong, Papua Barat Daya terus memasifkan edukasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan kepada pasangan suami istri (pasutri) sebagai langkah strategis untuk menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan ramah perempuan.
Sekretaris Daerah Kota Sorong Rudi Laku, di Sorong, Rabu, menjelaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan serius yang tidak hanya berdampak fisik, tetapi juga mengikis martabat dan masa depan korban.
“Kekerasan terhadap perempuan adalah ancaman nyata, termasuk di Kota Sorong," jelasnya.
Upaya edukasi ini menjadi penting agar masyarakat memahami bentuk-bentuk kekerasan, baik fisik, psikis, seksual, maupun ekonomi sehingga bisa menghindari kekerasan terhadap perempuan.
Ia juga menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif di tengah masyarakat agar setiap individu tidak hanya mampu melindungi diri sendiri, tetapi juga berperan sebagai agen perubahan dalam mencegah kekerasan di sekelilingnya.
“Pemahaman yang baik akan membuat masyarakat lebih tanggap dan berani mengambil sikap dalam melindungi perempuan dari tindak kekerasan,” katanya.
Ia mengatakan, Pemkot Sorong berkomitmen untuk terus mendukung program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan melalui kerja sama lintas sektor, koordinasi dengan dinas terkait, aparat penegak hukum, lembaga sosial, serta komunitas lokal terus diperkuat.
Salah satu langkah konkret yang tengah didorong adalah pembentukan pusat layanan terpadu untuk korban kekerasan. Fasilitas ini diharapkan mampu memberikan pendampingan secara hukum, psikologis, dan medis bagi korban.
“Langkah ini penting untuk memastikan bahwa korban tidak sendirian. Negara hadir melalui layanan yang mudah diakses dan berpihak,” ujarnya.
Kepala Bidang Perlindungan Hak Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Sorong, Hans Rumahlatu, mengungkapkan bahwa pada tahun 2024 tercatat 37 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan periode Januari hingga Juli 2025, terdapat 13 kasus yang dilaporkan.
“Angka ini kemungkinan masih lebih tinggi karena sebagian besar korban enggan melapor. Banyak yang merasa malu atau menganggap kekerasan sebagai urusan privat keluarga,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Hans, pendekatan persuasif melalui sosialisasi dan edukasi sangat penting untuk membongkar stigma tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya sistem layanan jemput bola yang proaktif merespons laporan dari masyarakat.
“Setiap laporan kekerasan rumah tangga kami tindak lanjuti langsung. Kami ingin korban tahu bahwa mereka tidak sendiri, dan ada dukungan yang tersedia,” kata Hans.
Ia berharap, dengan masifnya edukasi dan layanan yang diberikan, masyarakat Kota Sorong dapat lebih terbuka dalam melaporkan kasus kekerasan, serta bersama-sama mewujudkan kota yang aman dan adil gender.
“Jadilah pelopor di keluarga dan lingkungan untuk membangun budaya saling menghargai dan melindungi perempuan,” harapnya.