Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya (PBD) menerapkan skema kredit dan jual beli karbon dengan mencari sumber pendanaan di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) guna mengoptimalkan potensi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan (LHKP) Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu, di Sorong, Senin, mengatakan potensi hutan di wilayah itu sangat besar dengan tutupan mencapai 89 persen dan tingkat deforestasi yang rendah.
“Potensi ini menjadi modal utama untuk menarik pendanaan iklim,” ujarnya.
Ia menjelaskan, skema kredit dan jual beli karbon menjadi langkah strategis untuk membuka peluang pendanaan di luar APBD. Tujuannya, agar program pelestarian hutan dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat adat.
“Kita tidak bisa berharap APBD karena nilainya kecil. Harus cari sumber lain untuk memanfaatkan potensi hutan,” katanya.
Menurut Julian, inisiatif ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa masyarakat asli Papua hidup di atas kekayaan alam yang melimpah, namun masih banyak yang hidup dalam kemiskinan.
Oleh karena itu, Pemprov PBD mendorong penerapan skema kredit karbon berbasis wilayah yurisdiksi dengan dukungan berbagai pihak, baik nasional maupun internasional.
Sebagai langkah awal, Dinas LHKP telah melaksanakan diskusi bersama mitra potensial untuk membuka peluang pendanaan iklim di wilayah itu.
Kegiatan itu berlangsung di Kabupaten Sorong pada 27 Oktober 2025, dengan fokus pada implementasi skema karbon daerah dan kesiapan teknis di tingkat provinsi.
Julian menyebut salah satu program yang sudah berjalan adalah REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) dengan dukungan dana sekitar Rp17 miliar yang dikelola lembaga Penabulu.
"Program ini berlangsung selama satu setengah tahun dan mencakup penyusunan petunjuk teknis serta tahapan implementasi lapangan," katanya.
Selain REDD+, Dinas LHKP juga menyiapkan strategi menuju “FOLU Net Sink 2030”, yaitu komitmen untuk menurunkan emisi sektor kehutanan dan lahan melalui konservasi serta rehabilitasi hutan.
Menurut dia, upaya ini menjadi bagian dari peta jalan pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat adat.
“Kami tidak mau meninggalkan air mata, tetapi menjadikannya mata air lewat kebijakan sektor kehutanan dan lingkungan,” kata Julian.
Ia menambahkan, perubahan tidak bisa dicapai secara instan dan membutuhkan kerja keras lintas pihak.
“Kita harus bekerja perlahan tapi pasti. Targetnya, dalam 5-10 tahun ke depan masyarakat adat bisa benar-benar sejahtera karena hutan,” ujarnya.
Editor : Evarianus Supar
COPYRIGHT © ANTARA News Papua Tengah 2025