Sorong (ANTARA) - Seruan menyelamatkan hutan dari berbagai aktivitas ilegal yang merusak selalu digaungkan oleh masyarakat adat suku Moi, di wilayah Sorong Raya, Provinsi Papua Barat.
Bagaimana tidak, masyarakat adat setempat percaya bahwa hutan merupakan sumber pangan bagi mereka,
Hingga saat ini masyarakat adat Papua, khususnya Suka Moi Sorong masih menggantungkan hidupnya pada kekayaan alam yang tersedia melimpah di hutan. Kehidupan berburu hewan dan mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar di hutan guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari masih terus dilestarikan hingga sekarang.
Meskipun program pertanian dengan berbagai teknologi canggih telah dilakukan oleh pemerintah daerah, namun kehidupan berburu hewan dan mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar di hutan tetap saja dilakukan. Bagi masyarakat adat Papua, hutan adalah anugerah Tuhan sebagai sumber kehidupan.
Ketua Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta Moi, Torianus Kalami di Sorong, Rabu, mengatakan bahwa bagi masyarakat adat suku MOI hutan adalah sumber kehidupan. Hutan adalah cadangan pangan bagi masyarakat adat, sebab jika tidak ada beras maka masyarakat masuk ke hutan untuk berburu dan mencari sayur-sayuran yang tumbuh liar agar kebutuhan pangannya terpenuhi.
Karena itu, kata dia, masyarakat adat suku MOI terutama yang mendiami wilayah Malaukarta Raya, kabupaten Sorong sangat menjaga kelestarian hutan setempat sebagai sumber kehidupan.
Upaya melindungi hutan bagi kehidupan masyarakat adat suku MOI telah dilakukan oleh Pemda setempat dengan menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat Suku Moi di Kabupaten Sorong.
Kemudian regulasi turunannya yaitu Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang hukum adat dan kearifan lokal dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam di Kampung Malaumkarta.
Menindaklanjuti kedua regulasi itu, kelompok pemuda Malaukarta Raya melakukan pemetaan batas wilayah adat 14 marga Suku Moi. Tim lapangan pemuda setempat juga melakukan pendataan terhadap potensi sumber daya alam yang ada di hutan Malaumkarta Raya.
Pemetaan wilayah adat 14 marga dan pendataan potensi sumber daya alamnya untuk tujuan pengusulan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar mendapat pengakuan dengan regulasi yang lebih tinggi.
"Kami sudah mengajukan konsep hutan adat tersebut ke KLHK dan sedang dipelajari. Semoga dengan dukungan KLHK maka usulan regulasi hutan adat Malaumkarta dapat terealisasi," ujar Torianus.
Hutan sagu cadangan pangan utama
Bagi masyarakat adat suku Moi, pohon sagu merupakan sumber pangan utama sebab sagu dapat diolah sebagai bahan makanan pengganti beras. Hingga kini masyarakat Suku Moi yang mendiami wilayah Malaukarta Raya, Kabupaten Sorong masih melestarikan hutan sagu.
Anggota Perkumpulan Generasi Muda Malaukarta Sorong Yosias Su mengatakan hingga kini warga Suku Moi masih terus melestarikan tanaman sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka.
Meski persediaan beras di wilayah itu selalu ada, namun warga tetap memilih sagu untuk menjadi makanan pokok sehari-hari dan itu telah berlangsung turun-temurun.
"Kami generasi muda sekarang tetap melestarikan pohon sagu yang secara turun-temurun dilestarikan oleh orang tua sebelumnya karena sejak dahulu sagu adalah makanan pokok masyarakat Papua," ujar Yosias.
Bagi masyarakat adat Suku Moi, katanya, mengkonsumsi makanan dari bahan sagu merupakan jadi diri sehingga sampai kapan pun sagu tidak pernah tergantikan dengan jenis makanan lainnya.
"Sekarang di era modern banyak sekali produk bahan pangan tetapi sagu tetap menjadi bahan pangan unggulan bagi masyarakat Moi," tuturnya.
Pohon sagu tidak hanya dimanfaatkan untuk jadi bahan pangan yaitu dengan cara diambil tepungnya, tapi daun pohon sagu juga secara turun-temurun digunakan masyarakat adat sebagai atap rumah. Begitu pun kulit luar pohon sagu dapat dimanfaatkan oleh masyarakat di wilayah Papua pada umumnya sebagian dinding rumah.
"Bahkan sampai membusuk pun pohon sagu tetap bermanfaat yakni ulat pohon sagu tersebut dimakan oleh masyarakat karena mengandung protein tinggi," kata Yosias.
Keberpihakan pemerintah
Komitmen Pemda untuk melestarikan kawasan hutan yang menjadi penyanggah utama kehidupan masyarakat lokal dari berbagai aktivitas ilegal seperti pencurian kayu dan lainnya sejauh ini terlihat cukup dirasakan oleh warga setempat.
Beberapa waktu lalu, Pemkab Sorong bahkan berani mencabut izin usaha dua perusahaan kelapa sawit terbesar di Kabupaten Sorong yaitu PT Papua Lestari Abadi dan PT Sorong Agro Sawitindo.
Sikap tegas yang diambil Pemkab Sorong itu lantaran kedua perusahaan swasta itu dinilai tidak memiliki keberpihakan kepada masyarakat adat suku Moi.
Bupati Sorong Johny Kamuru menyebut kedua perusahaan itu memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP_sejak 2013. Sejak itu, kedua perusahaan sama sekali belum melakukan penanaman bibit kelapa sawit, bahkan belum memperoleh hak atas tanah di wilayah mereka masing-masing.
Anehnya, kedua perusahaan malah telah memperoleh Izin Lingkungan sejak 2009.
Namun selama lebih dari satu dekade berlalu, kedua perusahaan tidak melakukan aktivitas apapun sehingga tidak memberikan nilai dan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
Pemkab Sorong kini tengah menyiapkan sejumlah program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat di wilayah konsesi yang izinnya telah dicabut itu.
Bupati Kamuru meminta warga suku Moi menjaga tanah dan kelestarian hutan adatnya agar dapat dinikmati oleh para generasi penerus.
"Kita harus bersyukur kepada Tuhan karena sampai hari ini masyarakat Suku Moi masih menikmati keindahan alam hutan yang menjadi sumber kehidupan. Hutan adat ini harus tetap dijaga dan dilestarikan untuk kepentingan generasi kita di masa depan," ajak Bupati Kamuru.