Sorong (ANTARA) - Di balik momen sakral pengibaran bendera Merah Putih di lapangan Markas Lantamal XIV Sorong, Papua Barat Daya, pada 17 Agustus 2025, terselip sebuah kisah yang menggugah hati.
Bukan tentang parade megah atau barisan seragam rapi semata, melainkan tentang tiga anak muda Papua Barat Daya yang membuktikan bahwa kebersamaan bukanlah jargon kosong, melainkan kekuatan nyata yang mampu menopang Merah Putih tetap berkibar.
Mereka adalah Karisto Gideon Dimara, Afgan Sapulette, dan Frans Beto Kolawi, tiga anggota Paskibraka dari latar belakang berbeda yang disatukan dalam satu misi, mengibarkan sang saka dan menyelesaikan tugas negara dengan kepala tegak serta hati yang penuh cinta pada tanah air.
Karisto Gideon Dimara bukanlah sosok yang suka menonjol. Siswa SMK YPK Bukit Zaitun Waisai, Kabupaten Raja Ampat, ini dikenal pendiam, namun memiliki semangat luar biasa dalam setiap latihan.
Anak bungsu dari delapan bersaudara ini lahir dan tumbuh di Raja Ampat, wilayah kepulauan yang terkenal akan keindahan alamnya, namun juga penuh tantangan geografis yang tak mudah.
Meskipun demikian, ia memiliki keinginan kuat, lewat paskibraka, untuk membuat keluarganya bangga dan bahaguia.
Selama kurang lebih tiga pekan, Karisto dan rekan-rekannya menjalani latihan intensif di Kota Sorong. Ia sering kali menjadi yang pertama tiba di lapangan dan yang terakhir meninggalkan arena, tapi semangatnya diuji menjelang hari-H.
Tepat di hari 17 Agustus 2025, dimana semua orang, khususnya para Paskibraka merayakan hari kebesaran bangsa, di saat itulah ia mengalami kenyataan pedih. Sang ayah tercinta yang ingin dia bangga atas prestasi Karisto, dipanggil Sang Kuasa.
Pada hari kemerdekaan itu, ia mengalami kenyataan, kedua orang tuanya sudah tidak ada, yakni ibunya sudah meninggal pada 2023.
Pada saat pengibaran, Karisto di antara kedua temannya, mendapat peran penting sebagai penjuru. Tugas itu memerlukan tanggung jawab besar karena berperan penting dalam barisan atau formasi Paskibraka, khususnya sebagai titik acuan utama atau pemimpin dalam pembentukan barisan.
Ia berhasil menjalankan tugasnya dengan sempurna, hingga saat harus kembali ke formasi, tubuhnya mulai terasa rapuh dan goyang.
Afgan-Frans menopang
Saat Karisto nyaris tumbang, dua sahabatnya, yakni Afgan Sapulette dan Frans Beto Kolawi, langsung bergerak, tanpa menunggu aba-aba. Mereka merapat, menopang erat tubuh Karisto dari kiri dan kanan dan menggandengnya hingga seluruh prosesi selesai.
Afgan mengaku refleks, ketika melihat Karisto sudah mau jatuh, langsung ditahan. Rasa kebersamaan yang sudah dibangun sebelumnya langsung tergugah agar tidak ada satupun anggota pasukan pengibar bendera itu yang jatuh.Kami tidak mau ada yang jatuh.
Frans, siswa kelas XI di SMK Negeri 1 Kota Sorong, juga memiliki gerak refleks yang sama, saat melihat kondisi temannya yang sudah hampir jatuh, ketika barisan sedang bertugas.
Ternyata ,di balik kejadian itu, ada peran besar para pelatih dan pembina yang menanamkan nilai kebangsaan dengan cara yang membumi. Latihan bukan hanya tentang baris-berbaris, tapi tentang membangun karakter, disiplin, dan kepedulian.
Afgan dan Frans mengakui bahwa mereka sudah diajarkan oleh para mengenai jiwa korsa dan kebersamaan. Meskipun latihan hanya terbilang hari, namun jiwa itu sudah tertanam kuat di antara mereka.
Keduanya berasal dari latar berbeda. Afgan berasal dari keluarga sederhana dengan profesi ayah sebagai buruh bagasi. Sementara Frans anak yatim dan kini tinggal bersama ibunya yang berprofesi sebagai pedagang di pasar.
Meskipun berbeda latar belakang, sejak terpilih sebagai anggota Paskibraka, mereka seperti saudara. Persahabatan mereka tidak lahir dari kesamaan darah, tapi dari peluh dan disiplin yang sama selama latihan. Tidak ada satu pun dari mereka yang ingin tampil sebagai "pahlawan tunggal".

Ketika video mengenai peristiwa itu tersebar di media sosial, respons masyarakat luar biasa. Banyak yang mengaku meneteskan air mata melihat ketiganya berjalan bersama, saling menopang, dalam formasi yang tetap utuh, hingga akhir.
Meskipun demikian, bagi mereka, itu bukan soal viral atau tidak. "Kami hanya menjalankan apa yang kami percaya benar. Kami ini Paskibraka, tugas kami bukan hanya angkat bendera, tapi menjaga nama baik Bangsa Indonesia," kata Afgan.
Dari peristiwa itu, tiga anak muda Papua tersebut memberi pelajaran sederhana, namun penting. Bahwa Indonesia tidak hanya dibangun oleh kekuatan individu, tapi oleh tekad untuk saling menggandeng, saling menjaga, dan saling menyelesaikan tugas bersama.
Balasan ketulusan
Video viral yang memperlihatkan aksi heroik Afgan dan Frans, Paskibraka asal Papua Barat Daya, yang dengan sigap menggandeng Karisto yang hampir pingsan, terekam saat upacara HUT Ke-80 RI, menarik simpati masyarakat, termasuk Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas.
Sebagai bentuk apresiasi atas aksi itu, Menkum Supratman bersedia memberikan akses bagi ketiga pemuda Paskibraka itu untuk nantinya, setelah menamatkan pendidikan di tingkat SMA bisa bergabung dengan Kementerian Hukum, melalui sekolah kedinasan Politeknik Pengayoman milik Kemenkum.
Selain itu, Menkum juga telah memberikan hadiah, masing-masing berupa sepeda motor kepada ketiganya, yang diserahkan melalui Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu di Kota Sorong, Rabu (20/8/2025).
Gubernur papua Barat Daya, melalui panggilan video dengan Menkum, seusai penyerahan sepeda motor kepada ketiga Paskibraka itu menyampaikan terima kasih atas perhatiannya yang telah membantu anak-anak Papua.
Tidak hanya itu, Menkum juga akan memberikan bantuan kepada 42 Paskibraka Papua Barat Daya.
Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya juga memberikan apresiasi kepada para Paskibraka dengan uang saku senilai Rp6 juta per orang.
Kisah mereka adalah gambaran nyata tentang bagaimana jiwa nasionalisme tumbuh di pelosok negeri, tidak dengan pidato megah, tapi dengan tindakan kecil yang tulus dan penuh arti.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Karisto, Afgan, dan Frans, tiga putera Papua penjaga Sang Merah Putih