Sorong (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya berharap perlunya revisi Undang-Undang Kehutanan serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Pengelolaan Hutan guna mengatur pemanfaatan kayu di tanah adat secara legal.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu di Sorong, Jumat, mengatakan langkah ini sangat penting untuk membuka ruang bagi masyarakat adat dalam mengelola hasil hutan tanpa melanggar hukum, sekaligus menekan maraknya peredaran kayu ilegal.
"Yang menjadi masalah selama ini peredaran kayu ilegal justru industri langsung mengambil kayu dari masyarakat sebagai pemilik, dan itu tidak sesuai mekanisme aturan yang ada," ujarnya.
Kelly menegaskan bahwa sesuai aturan, pemanfaatan kayu hanya diperbolehkan melalui dua jalur resmi, yakni pohon yang ditanam dan pohon yang memiliki perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu.
Dia mengatakan pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hasil hutan kayu saat ini baru empat perusahaan di Papua Barat Daya. Selain itu terdapat 12 industri kayu yang beroperasi di wilayah Papua Barat Daya.
"Kalau sesuai aturan, 12 industri kayu itu harus mengambil kayu dari empat perusahaan itu. Namun, praktik di lapangan masih menyimpang, di mana sebagian industri mengambil kayu dari masyarakat tanpa prosedur legal," ujarnya.
Persoalan lain, kata dia, masyarakat adat tidak mengakui bahwa kayu yang dijual kepada industri yang berasal dari tanah adat mereka adalah kayu ilegal yang diambil tanpa prosedur jelas.
“Kami ingin masyarakat adat bisa menjual kayu mereka secara legal. Dengan begitu, setiap pengangkutan kayu harus melalui proses pembayaran resmi. Selama ini banyak kayu beredar tanpa aturan yang jelas,” ujar Kelly.
Oleh karena itu, kata dia, revisi UU Kehutanan dan revisi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 8 Tahun 2021 menjadi sangat penting agar ada ruang hukum yang jelas bagi masyarakat adat untuk menjual kayu dari tanah ulayat mereka.
“Bagaimana pohon yang tumbuh di atas tanah adat bisa dijual secara legal harus diatur dalam revisi regulasi. Ini penting sebagai bagian dari pemberdayaan masyarakat adat,” ujarnya.
Selain regulasi, Kelly menilai pentingnya peran aktif pemerintah kabupaten dan kota dalam mengusulkan rencana tata ruang wilayah (RTRW), terutama ruang yang dimanfaatkan untuk pembangunan nonkehutanan seperti permukiman dan infrastruktur.
"Usulan tata ruang tersebut akan menjadi dasar dalam penyesuaian RTRW provinsi, termasuk pengajuan pelepasan kawasan hutan," ujarnya.
Saat ini, sekitar 361–362 ribu hektare kawasan hutan diusulkan untuk dilepaskan dari status konservasi agar dapat dimanfaatkan secara legal oleh masyarakat maupun pemerintah daerah.
“Oleh karena itu revisi regulasi penting bukan hanya untuk legalisasi pemanfaatan kayu oleh masyarakat adat tetapi juga untuk memastikan kelestarian hutan dan mendukung mitigasi perubahan iklim,” katanya.
Berdasarkan data Dinas LHKP Papua Barat Daya, luas kawasan hutan mencapai 3.636.186 hektare, dengan rincian, Kota Sorong: 15.908 hektare, Kabupaten Raja Ampat: 915.550 hektare, Kabupaten Sorong: 595.815 hektare.
Kemudian Kabupaten Tambrauw: 1.144.053 hektare, Kabupaten Maybrat: 445.258 hektare, Kabupaten Sorong Selatan: 519.601 hektare.
PBD harap revisi UU Kehutanan untuk legalkan pemanfaatan kayu
Jumat, 21 November 2025 15:24 WIB
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu. ANTARA/Yuvensius Lasa Banafanu
