Jakarta (ANTARA) - Rektor Universitas Papua (UNIPA) Hugo Warami mengatakan kearifan lokal dan pendekatan berbasis ekoregion menjadi fondasi utama keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup di Tanah Papua.
Hal tersebut disampaikan Hugo dalam Forum Rektor Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Regional Papua yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta, Senin.
"Papua tidak bisa diperlakukan seperti daerah lain. Pendekatan teknokratis perlu dikombinasikan dengan pendekatan budaya,” kata dia.
Hugo menyebut sistem sosial budaya masyarakat adat Papua, terutama struktur kepimpinan tradisional masih sangat kuat, sehingga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pengelolaan lingkungan.
Sistem kekerabatan disertai semangat kolektif dalam merawat kelestarian adat dan budaya, berdampak positif terhadap model pengelolaan lingkungan yang selaras dengan prinsip keberlanjutan.
“Sistem keondoafian, kepala suku, dan hak ulayat adalah elemen utama dalam pengelolaan ruang dan sumber daya alam masyarakat Papua,” ujar Hugo.
Menurut dia, penerapan kebijakan pengelolaan lingkungan yang hanya mengacu pada peta zonasi ekologis tanpa memahami sistem sosial, berpotensi menimbulkan konflik di tengah masyarakat adat.
Pemerintah harus mengakomodasi kearifan lokal dalam penyusunan dokumen strategis, seperti Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) maupun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Tanpa pemahaman terhadap sistem nilai masyarakat adat, kebijakan hanya akan melahirkan konflik,” ujarnya.
UNIPA sendiri, lanjut Hugo, mendorong pendekatan kolaboratif lintas sektor yang melibatkan masyarakat adat sebagai subjek utama pembangunan berkelanjutan di Tanah Papua.
Papua memiliki 127 tipe ekosistem dan lebih dari 23 ribu aset lingkungan, dengan 118 di antaranya merupakan ekosistem alami sehingga tidak bisa dikelola dengan pola pendekatan konvensional.
"Harus berbasis adat dan zonasi ekoregion," kata Hugo.
Dia menilai dokumen perencanaan lingkungan seperti RPPLH dan RTRW belum maksimal mengarusutamakan pendekatan wilayah fungsional maupun zonasi berbasis daya dukung serta daya tampung lingkungan.
Perlindungan lingkungan di Papua harus memperhatikan wilayah ekoregion kritis seperti lahan basah di Teluk Bintuni dan kawasan gambut Jo Vrienschap–Jos Siret di Asmat yang menjadi habitat satwa langka.
"Ekosistem gambut dan mangrove terancam karena lemahnya tata kelola. Di Manokwari Selatan, upaya penetapan kawasan mangrove sebagai taman hutan rakyat terkendala aspek kelembagaan," katanya.
Menurut Hugo, permasalahan pengelolaan lingkungan dipengaruhi lemahnya kapasitas aparatur teknis daerah, kualitas data lingkungan belum memadai, dan minimnya pelibatan masyarakat adat.
Kondisi itu menjadi pemicu terjadinya konflik karena banyak izin lingkungan diterbitkan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat adat yang tersebar di enam provinsi di Tanah Papua.
"Banyak izin lingkungan diterbitkan tanpa partisipasi masyarakat adat, dan itu menjadi sumber persoalan,” katanya.
Dirinya berharap forum yang digagas kementerian dapat meningkatkan kolaborasi lintas sektor, terutama dalam pengembangan teknologi mitigasi untuk kawasan pesisir dengan kategori rentan abrasi.
Perlindungan lingkungan Papua berdampak luas karena Papua bukan hanya benteng terakhir biodiversitas, melainkan menjadi rumah peradaban yang harmonis dengan alam.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Kearifan lokal Papua fondasi utama pengelolaan lingkungan hidup