Sorong (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti sejumlah persoalan pengelolaan dana otonomi khusus dan praktik korupsi di Papua Barat Daya, mulai dari belum tuntasnya temuan kerugian negara hingga maraknya aktivitas pembalakan ilegal.
Kepala Satuan Tugas Koordinasi dan Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria, di Sorong, Selasa, menjelaskan upaya pencegahan terus dilakukan secara maksimal, namun penindakan tetap menjadi pilihan jika pelanggaran tak kunjung diselesaikan.
"Upaya pencegahan kami lakukan secara maksimal. Tapi kalau tidak juga selesai, ya harus ditindak. Sanksinya jelas," kata Dian.
Menurut dia, masih banyak pejabat ASN di Papua Barat Daya yang belum melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sehingga sistem secara otomatis akan memblokir akses ASN yang tidak melapor dalam waktu satu bulan.
Terkait dana otonomi khusus (otsus), Dian menjelaskan bahwa pendekatan otonomi untuk Papua bersifat desentralisasi asimetris, namun dalam praktiknya justru kembali pada pola pengelolaan umum yang membingungkan masyarakat.
"Dana otsus diatur khusus oleh pemerintah pusat, tapi ketika masuk ke APBD malah bercampur. Masyarakat pun bingung, mana dana Otsus itu? Digunakan untuk apa? Tidak ada yang bisa menjelaskan," ujar Dian.
Ia juga menyoroti persoalan validasi data Orang Asli Papua (OAP). Berdasarkan laporan, jumlah OAP disebut mencapai 4,2 juta dari total 5,7 juta jiwa penduduk Papua.
Namun, menurutnya, data tersebut belum diverifikasi secara menyeluruh. "Kami belum yakin. Mungkin baru Papua Tengah dan Papua Pegunungan yang memiliki data distrik dan kampung yang cukup rinci," ujarnya.
Selain itu, KPK juga mencatat adanya temuan kerugian negara senilai puluhan miliar rupiah dari anggaran tahun 2023 di Papua Barat Daya. Sebagian besar berasal dari anggaran perjalanan dinas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
"Jika tidak dikembalikan dalam waktu 60 hari, maka akan kami bawa ke aparat penegak hukum," kata Dian.
Dalam kesempatan sama, Dian turut menyinggung maraknya praktik pembalakan ilegal di wilayah Papua Barat Daya dengan modus beragam, termasuk penggunaan dokumen palsu dan adanya dukungan dari oknum tertentu.
"Kayu-kayu hasil ilegal ini bahkan bisa sampai ke Surabaya. Artinya, sistem pengawasan kita lemah atau ada backing kuat di belakang," katanya.
Terkait pertambangan, KPK mencatat belum adanya surat keputusan resmi pencabutan izin tambang di Raja Ampat, meskipun telah diumumkan kepada publik.
"Saya sepakat dengan Gubernur bahwa izin baru harus dihentikan dan izin lama dievaluasi ketat. Ada pulau hanya satu hektare, bahkan empat hektare, tapi masih juga mau ditambang. Ini tidak masuk akal,” kata Dian.
Berkaitan dengan itu, Dian menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mencegah korupsi, terlebih pada masa transisi pemerintahan daerah di Papua Barat Daya.
"Wali kota dan gubernur baru menjabat, masih masa transisi. Tapi jangan sampai Kota Sorong seperti Maluku Utara. Kalau tidak bisa dicegah, saya tak perlu datang lagi ke sini. Urusannya bisa masuk "kamar sebelah'," ujarnya.
Ia menambahkan meski KPK memiliki keterbatasan anggaran dan akses wilayah, pihaknya tetap akan menindaklanjuti setiap laporan dan temuan.
"Harapan saya, mari kita kerja sama. KPK pun anggarannya terbatas dan akses ke daerah ini tidak mudah. Tapi, kami tetap akan catat dan tindak lanjuti satu per satu," harapnya.