Wamena (ANTARA) - Koteka adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh laki-laki di Papua, termasuk Pegunungan Tengah. Pakaian ini berbentuk selongsong yang terbuat dari buah labu air yang dikeringkan dan berbentuk mengerucut di bagian depan.
Koteka digunakan untuk menutupi kemaluan dan memiliki berbagai makna dan fungsi dalam budaya Papua, khususnya masyarakat Papua Pegunungan. Koteka juga menjadi simbol ketangguhan dan kejantanan bagi laki-laki Papua.
Pakaian tradisional tersebut masih kerap dijumpai dikenakan oleh masyarakat asli di di jalan-jalan pusat keramaian di wilayah Papua Pegunungan, khususnya di Kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Menurut Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Jayawijaya Herman Doga, bagi masyarakat Papua Pegunungan, khususnya Lembah Baliem, koteka merupakan pakaian yang melekat pada dirinya setiap saat.
Busana tradisional koteka ini biasa juga ditampilkan oleh penari budaya pada acara-acara resmi di wilayah Papua Pegunungan, di antaranya untuk menyambut tamu-tamu penting dari pemerintah pusat yang melakukan kunjungan kerja ke daerah.
Selain itu, pakaian tradisional ini juga digunakan untuk karnaval serta upacara bendera pada saat momentum perayaan hari kemerdekaan, berdampingan dengan pakaian adat daerah lainnya di Indonesia.
80 tahun kemerdekaan
Pada momentum perayaan hari ulang tahun atau HUT ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, koteka tetap menjadi sebuah simbol keberagaman budaya dan adat istiadat di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Koteka akan tetap menjadi jati diri yang hakiki bagi masyarakat Papua Pegunungan, yang terdiri dari delapan Kabupaten, yakni Jayawijaya, Lanny Jaya, Nduga, Tolikara, Pegunungan Bintang, Yalimo, Mamberamo Tengah, dan Yahukimo.
Bagi Pemerintah Provinsi Papua Pegunungan, sebagaimana diungkapkan oleh gubernur John Tabo, koteka itu adalah jati diri, harga diri, dan budaya masyarakat Papua yang telah diwariskan para leluhur. Karena itu, pakaian tersebut harus dilestarikan.
Koteka tidak akan tergantikan dengan pakaian atau busana lain, meski usia negara tercinta ini terus bertambah dari waktu ke waktu. Melestarikan koteka sama artinya dengan menjaga warna keberagaman suku yang ada di Tanah Air.
Bahkan, pada penyelenggaraan Festival Budaya Lembah Baliem ke-33 tahun 2025, ratusan pelajar di Jayawijaya menggunakan koteka sebagai pakaian tradisional dalam meramaikan puncak kegiatan yang dihadiri ribuan orang, baik dari dalam maupun luar negeri.
Koteka dikenakan dengan cara diikatkan pada pinggang menggunakan tali, sehingga ujung koteka menjorok ke atas. Fungsi utama koteka bukan sekadar sebagai penutup kemaluan laki-laki, namun juga menjadi simbol status, dimana ukuran dan hiasan bisa menunjukkan status sosial pemakainya. Koteka menjadi penanda identitas suku dan budaya.
Koteka juga menjadi simbol kedewasaan, yakni sebagai penanda bahwa pemakainya sudah dewasa.
Bagi pemerintah daerah, koteka bukan hanya pakaian, melainkan juga sarat dengan nilai-nilai budaya, seperti kebersamaan, kepemimpinan, kebanggaan dan kebesaran.
Bukan primitif
Bagi sebagian kalangan, koteka mungkin masih dianggap sebagai pakaian tradisional Papua khususnya yang primitif dan simbol keterbelakangan.
Padahal, cara pandang tersebut sangatlah keliru. Koteka itu setara dengan pakaian busana lain, seperti beskap dan kebaya bagi Suku Jawa, baju bodo bagi Suku Bugis (Makassar), serta busana lainnya yang dimiliki suku-suku di Nusantara.
Koteka menjadi kekayaan Indonesia yang tidak terbantahkan, serta menjadi simbol kemajemukan suku-suku di Tanah Air dari Sabang hingga Merauke, dari Nias hingga Pulau Rote.
Bahkan, pelajar SMP dan SMA/SMK di wilayah Papua Pegunungan, pada momentum kelulusan atau karnaval budaya masih ada yang menggunakan koteka dalam memperingati perayaan tersebut.
"Memang masih ada generasi muda kita yang melestarikan koteka atau pakaian adat masyarakat Papua Pegunungan atau Jayawijaya," kata Bupati Jayawijaya Atenius Murib.
Pemkab Jayawijaya berupaya melestarikan koteka atau pakaian adat khas Papua melalui berbagai cara, di antaranya melibatkan penggunaan koteka dalam acara-acara resmi, seperti pelantikan anggota DPRK dan karnaval budaya.
Selain itu, pemerintah juga mendorong penggunaan koteka dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian dari upaya menjaga kelestarian budaya bagi generasi muda Papua Pegunungan, khususnya Kabupaten Jayawijaya.
Pemerintah daerah juga meningkatkan nilai-nilai pendidikan budaya di satuan pendidikan terhadap penggunaan koteka, serta sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya melestarikan budaya penggunaan koteka.
Pemkab Jayawijaya juga berupaya mengembangkan potensi pariwisata daerah, seperti Festival Budaya Lembah Baliem (FBLB), termasuk pariwisata berbasis budaya yang dapat memperkenalkan koteka kepada wisatawan domestik maupun mancanegara.
Pemerintah daerah juga memberdayakan masyarakat, terutama perajin koteka, untuk meningkatkan kualitas dan produksi koteka, serta memasarkannya secara lebih luas.
Perkembangan zaman, teknologi serta usia negara yang telah mencapai 80 tahun, tidak dapat mengubah atau menggantikan warisan nenek moyang yang telah dipertahankan oleh masyarakat Papua Pegunungan berabad-abad lamanya.
Meskipun udara di Papua Pegunungan bisa mencapai suhu dingin ekstrem, tetapi koteka tetap digunakan dengan tubuh pemakainya diolesi minyak babi yang mengandung kehangatan, serta honai (rumah adat) yang terus memberikan rasa hangat.
Minyak babi, telah digunakan oleh masyarakat Papua Pegunungan berabad-abad lamanya untuk menghadirkan rasa hangat di kulit, di saat suhu di wilayah Papua Pegunungan mendekati 11 derajat Celcius.
Selain minyak babi, honai atau rumah bagi masyarakat Papua Pegunungan didesain secara khusus, dengan atap yang rendah, membuat udara terperangkap di dalamnya, sehingga ruangan rasa hangat.
Kedua unsur inilah yang menjadi rahasia masyarakat Papua Pegunungan dapat bertahan selama berabad-abad lamanya dari cuaca ekstrem, meskipun hanya mengenakan busana tradisional koteka.
Koteka akan terus menjadi lambang, menjadi simbol ketangguhan, keagungan masyarakat Papua Pegunungan dari derasnya moderenisasi serta perkembangan teknologi secara global.
Indonesia bersyukur memiliki suku, budaya, bahasa dan pakaian adat yang beragam, sehingga menjadi keunikan yang tidak asma dengan negara lain.
Koteka adalah wujud dari falsafah bangsa kita, yakni Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-berbeda, tetapi tetap satu jua. Perbedaan bukan untuk menjadi masalah, melainkan sebagai sumber inspirasi merekatkan. Menjaga koteka, Indonesia merdeka.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Koteka lestari bersama 80 tahun Indonesia merdeka